JAKARTA - Secara bertahap Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) bakal menghentikan subsidi untuk sekolah berlabel Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI). Kemendikbud menilai subsidi tersebut kecil dan tidak berdampak apa-apa.
Direktur Jenderal Pendidikan Dasar (Dirjen Dikdas) Kemendikbud Suyanto kemarin (25/7) menuturkan, dari tahun ke tahun, subsidi yang dikucurkan kepada RSBI mulai menyusut. “Akhirnya memang kita hapus. Subsidi ini sebenarnya hanya reward karena telah berstatus RSBI,” kata dia.
Ketika program RSBI mulai dijalankan 2006 lalu, subsidi yang diberikan pemerintah kepada setiap sekolah berkisar antara Rp 400 juta hingga Rp 500 juta per tahun. Tetapi lambat laun jumlahnya dipangkas. Tahun ini subsidi yang diberikan Kemendikbud kepada RSBI rata-rata Rp 250 juta per sekolah.
Menurut Suyanto, subsidi tadi cukup kecil nilainya. Sehingga kalaupun nanti dihentikan, tidak akan berpengaruh pada biaya pendidikan atau unit cost yang dibebankan kepada siswa. Penghentian subsidi ini sekaligus untuk merangsang pemerintah daerah supaya lebih ikut memperhatikan pendanaan RSBI.
Dari hasil pengamatan Kemendikbud di setiap sekolah, uang yang dikelola RSBI nilainya sangat besar. Nilai itu jauh lebih tinggi dibandingkan dengan subsidi dari Kemendikbud.
Uang di sekolah RSBI cukup besar karena rata-rata yang sekolah di RSBI adalah siswa dari keluarga mampu. Dia tidak memungkiri jika uang masuk RSBI mencapai jutaan rupiah. Dia juga menjamin tidak akan ada kenaikan biaya pendidikan di RSBI walaupun subsidi dicabut.
“Kalau yang dikatakan RSBI mahal itu hanya fenomena di Jakarta saja,” timpal dia. Suyanto menuturkan bahwa anggapan jika biaya pendidikan di RSBI mahal tidak tepat. Dia mengatakan, fenomena membludaknya peminat RSBI setiap tahunnya menunjukkan bahwa biaya pendidikan di RSBI itu masih terjangkau.
“Jujur, jika biayanya tidak terjangkau, tidak akan membludak seperti itu peminatnya,” katanya. Di beberapa sekolah RSBI, jumlah peminat atau pendaftar bisa sampai lima kali lipat dari daya tampungya.
Jika akhirnya ada masyarakat miskin yang merasa kecewa karena tidak diterima di RSBI, Suyanto mengatakan, tidak diterimanya karena kemampuan akademis. “Lebih banyak lagi orang kaya yang kecewa karena anaknya tidak diterima di RSBI,” kata dia.
Sayangnya, kata Suyanto, yang diekspos media massa selama ini hanya nasib orang-orang miskin yang anaknya tidak diterima di RSBI. Sebaliknya orang-orang kaya yang kecewa karena anaknya tidak diterima di RSBI tidak pernah diliput.
Terkait gugatan keberadaan RSBI di Mahkamah Konstitusi (MK), Suyanto mengatakan masih belum masuk tahap sidang putusan. Andaikata nanti gugatan dari pihak yang menolak keberadaan RSBI dikabulkan MK, Kemendikbud sudah siap. “Namanya tinggal dirubah saja nanti menjadi sekolah bukan RSBI,” kata dia lantas terkekeh. Dengan nama baru itu, Kemendikbud sudah menjalankan putusan MK yang mengugurkan keberadaan RSBI.
Tapi Suyanto sendiri optimis jika MK tidak akan mencabut kebereadaan RSBI. Dia mengatakan, rata-rata RSBI diisi siswa dari keluarga mampu memang benar. Tetapi ada amanat yang mewajibkan 20 persen dari kuota RSBI wajib diisi siswa miskin berprestasi.
“Indonesia pasti rugi jika tidak ada RSBI,” kata dia. Sebab jika RSBI ini nantinya dihapus, sekolah-sekolah swasta yang mengklaim bertaraf internasional akan menjamur hingga ke pelosok daerah. Tarif pendidikan di sekolah swasta jenis ini semakin tidak bisa dikendalikan pemerintah. (wan/nw)
Sumber: JPNN
No comments:
Post a Comment